Perjalanan hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
disertai sahabat beliau, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu
berlangsung diam-diam, menghindari kejaran Quraisy. Perjalanan yang tak
ringan. Di tengah payahnya perjalanan Makkah-Madinah, mereka singgah di
sebuah tenda, tempat tinggal sepasang suami istri yang selalu memberikan
jamuan kepada orang-orang yang singgah di sana. Peristiwa yang
menakjubkan pun terjadi dalam kehidupan seorang wanita bernama Ummu
Ma’bad.
Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyah, Atikah bintu Khalid bin Khalif bin Munqidz
bin Rabi’ah bin Ashram bin Dhabis bin Haram bin Habsyiyah bin Salul bin
Ka’b bin ‘Amr dari Khuza’ah. Dia menikah dengan sepupunya, Tamim bin
‘Abdil ‘Uzza bin Munqidz bin Rabi’ah bin Ashram bin Dhabis bin Haram bin
Habsyiyah bin Salul bin Ka’b bin ‘Amr dari Khuza’ah. Mereka dikaruniai
seorang anak yang mereka beri nama Ma’bad. Dengan nama inilah mereka
berkunyah.
Mereka berdua tinggal di Qudaid, antara Makkah dan Madinah. Namun
mungkin mereka tak pernah menyangka, tempat tinggal mereka akan menjadi
tempat yang masyhur dengan singgahnya utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala
di sana.
Ummu Ma’bad adalah seorang wanita yang tekun dan ulet. Dia biasa duduk
di serambi tendanya, memberi makanan dan minuman kepada siapa pun yang
melewati tendanya.
Sementara itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr
radhiyallahu ‘anhu hendak melanjutkan perjalanan kembali setelah
bersembunyi selama tiga hari dalam gua. Budak Abu Bakr, ‘Amr bin
Fuhairah menyertai mereka. Juga seorang penunjuk jalan, Abdullah bin
‘Uraiqith Al-Laitsi yang datang pada hari yang ditentukan membawa dua
tunggangan milik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr.
Senin dini hari mereka berangkat.
Selasa, mereka sampai di Qudaid. Berempat mereka singgah di tenda Ummu
Ma’bad. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr meminta
daging dan kurma yang dia miliki. Mereka hendak membelinya.
“Kalau kami memiliki sesuatu, tentu kalian tidak akan kesulitan mendapat
jamuan,” kata Ummu Ma’bad. Saat itu adalah masa paceklik,
kambing-kambing pun tidak beranak.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seekor kambing betina
di samping tenda. “Mengapa kambing ini?” tanya beliau. “Dia tertinggal
dari kambing-kambing yang lain karena lemah,” jawab Ummu Ma’bad. “Apa
dia masih mengeluarkan susu?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lagi. “Bahkan dia lebih payah dari itu!” ujar Ummu Ma’bad.
“Apakah engkau izinkan bila kuperah susunya?” tanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Boleh, demi ayah dan ibuku,” jawab Ummu
Ma’bad. “Bila kau lihat dia masih bisa diperah susunya, perahlah!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kantong susu kambing
betina itu sambil menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berdoa.
Seketika itu juga, kantong susu kambing betina itu menggembung dan
membesar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bejana pada
Ummu Ma’bad, lalu memerah susu kambing itu dalam bejana hingga penuh.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bejana itu pada
Ummu Ma’bad. Ummu Ma’bad pun meminum susu itu hingga kenyang. Setelah
itu beliau memberikannya kepada yang lainnya hingga mereka pun kenyang.
Barulah beliau minum susu itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerah susu kambing itu lagi
hingga memenuhi bejana. Beliau tinggalkan bejana yang penuh berisi susu
itu untuk Ummu Ma’bad, kemudian mereka melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian, suami Ummu Ma’bad datang sambil menggiring
kambing-kambing yang kurus dan lemah. Ketika melihat bejana berisi susu,
dia bertanya keheranan, “Dari mana susu ini? Padahal kambing-kambing
kita tidak beranak dan di rumah tak ada kambing yang bisa diperah!”
“Demi Allah,” kata Ummu Ma’bad. “Tadi ada seseorang yang penuh berkah lewat di sini. Di antara ucapannya, begini dan begini ….”
“Demi Allah,” sahut Abu Ma’bad, “Aku yakin, dialah salah seorang Quraisy
yang sedang mereka cari-cari! Gambarkan padaku, bagaimana ciri-cirinya,
wahai Ummu Ma’bad!”
Ummu Ma’bad pun melukiskan sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang dilihatnya, “Dia sungguh elok. Wajahnya berseri-seri. Bagus
perawakannya, tidak gemuk, tidak kecil kepalanya, tampan rupawan. Bola
matanya hitam legam, bulu matanya panjang. Suaranya agak serak-serak,
dan lehernya jenjang. Jenggotnya lebat, matanya jeli bagaikan bercelak.
Alisnya panjang melengkung dengan kedua ujung yang bertemu, rambutnya
hitam legam. Bila diam, dia tampak berwibawa, bila berbicara, dia tampak
ramah. Amat bagus dan elok dilihat dari kejauhan, amat tampan dipandang
dari dekat. Manis tutur katanya, tidak sedikit bicaranya, tidak pula
berlebihan, ucapannya bak untaian marjan. Perawakannya sedang, tidak
dipandang remeh karena pendek, tak pula enggan mata memandangnya karena
terlalu tinggi. Dia bagai pertengahan antara dua dahan, dia yang paling
tampan dan paling mulia dari ketiga temannya yang lain. Dia memiliki
teman-teman yang mengelilinginya. Bila dia berbicara, mereka
mendengarkan ucapannya baik-baik. Bila dia memerintahkan sesuatu, mereka
dengan segera melayani dan menaati perintahnya. Dia tak pernah bermuka
masam dan tak bertele-tele ucapannya.”
Mendengar penuturan itu, Abu Ma’bad berkata yakin, “Demi Allah, dia
pasti orang Quraisy yang sedang mereka cari-cari. Aku bertekad untuk
menemaninya, dan sungguh aku akan melakukannya jika kudapatkan jalan
untuk itu!”
Hari yang penuh kebaikan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pada hari
itu, Ummu Ma’bad masuk Islam.1
Dikisahkan, kambing Ummu Ma’bad yang
diusap oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam panjang umurnya.
Kambing itu tetap hidup sampai masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khaththab
radhiyallahu ‘anhu tahun 12 H dan selalu mengeluarkan air susunya saat
diperah, pagi maupun sore hari.
Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya ….
Wallahu ta’ala a’lamu bish shawab
Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (8/305-307)
Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1876,1958-1962)
Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/288)
Ats-Tsiqat, karya Al-Imam Ibnu Hibban (1/123-128)
Mukhtashar Siratir Rasul, karya Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hal. 131-133)
1 Ahli sejarah yang lain mengatakan, Ummu Ma’bad datang kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah peristiwa itu untuk
menyatakan keislamannya dan berbai’at. Wallahu a’lam.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=502
http://www.darussalaf.or.id/muslimah/ummu-mabad-radhiyallahu-anha/

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ahlan wa Sahlan...jazakallah khoyran...