Selasa, 05 Mei 2009

salafiyin itu....

Berbuat Adi-lah Wahai Salafiyin !

Salafiyyin itu adalah orang-orang yang berupaya untuk meniti jejak generasi salafus shalih. Adapun generasi salafus shalih itu adalah tiga generasi pertama dalam Islam dari umat Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Yaitu generasi murid-murid Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi sallam, karena mereka berjumpa dengan beliau di masa hidupnya dan beriman kepadanya serta mati dalam keadaan iman kepadanya. Mereka ini dinamakan shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Kemudian generasi kedua ialah para murid-murid shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi sallam. Yaitu mereka yang sempat berjumpa dengan para shahabat Nabi dan beriman kepada Islam yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi sallam serta mati dalam keadaan iman dengan Islam. Generasi kedua ini dinamakan generasi tabi'in (atau generasi yang mengikuti jejak pendahulunya). Selanjutnya generasi ketiga, ialah generasi para murid-murid tabi'in. Yaitu generasi yang sempat berjumpa dengan para tabi'in dan beriman dengan Islam serta mati di atas keimanan itu. Meraka ini dinamakan generasi tabi'it tabi'in.
Para salafiyyin dari masa ke masa di manapun berada, selalu berusaha mempelajari Islam dengan merujuk kepada pemahaman salafus shalih, yaitu tiga generasi pertama tersebut di atas yang meliputi generasi shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi sallam, generasi tabi'in dan generasi tabi'it tabi'in. Para salafiyyin merasa tentram hatinya ketika telah menyakini bahwa pemahamannya telah terbukti secara ilmiah merujuk kepada pemahaman salafus shalih. Dan semestinya haruslah demikian.

ADIL ADALAH SIMBOL AKHLAK SALAFIYYIN
Al-Imam Ar-Raghib Al-Asfahami rahimahullah menerangkan makna adil dalam Mu'jam Mufradatil Alfadhil Qur'an halaman 336-337 sebagai berikut: “Adil itu ada dua pengertian, yaitu pengertian menurut kemutlakan fitrah manusia di mana akal manusia seluruhnya sepakat memandang kebaikannya. Yaitu seperti tidaklah dianggap sikap melanggar bila orang berbuat baik kepada siapa yang berbuat baik kepadanya dan menahan diri dari sikap bermusuhan terhadap orang yang tidak mengganggu kita. Yang demikian ini adalah pengertian adil yang tidak akan dihapus atau dirubah oleh pengertian lain sepanjang masa. Adapun pengertian adil dalam pandangan syari'ah, bisa dihapus dan diganti pengertian itu di sebagian waktu (oleh syari'ah itu sendiri), seperti hukum qishas, hukum pidana yang lainnya, hukum harta peninggalan orang yang murtad dari Islam. Karena adil dalam pengertian ini ialah balasan yang sebanding bagi setiap perbuatan. Bila perbuatannya baik, maka baiklah balasannya dan bila jelek, maka jelek pula balasannya.”
Tentu yang dimaksud oleh Al-Imam Ar-Raghib Al-Asfahami, bahwa adil dalam pengertian syari'ah itu bisa dirubah dan diganti oleh syari'ah itu sendiri di sebagian waktu ialah: Pengertian adil yang berlaku dalam hukum syari'ah di masa Nabi-Nabi terdahulu telah dirubah oleh syari'ah yang dibawa oleh Nabi Muhammmad shallallahu `alaihi wa alihi sallam.
Hukum pidana di masa Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi sallam juga berubah dengan ketentuan wahyu Allah dari masa ke masa di sepanjang dua puluh tiga tahun masa kenabian dan kerasulan beliau. Seperti hukum bagi wanita yang telah menikah jika berzina pada awalnya adalah penjara seumur hidup (Al-Qur'an surat An-Nisa' 15). Tetapi kemudian hukum ini berubah menjadi cambuk seratus kali bagi yang masih perawan dan rajam (dilempari batu sampai mati) bagi yang telah menikah. Perubahan hukum ini tentu dengan keadilan dan tidaklah dengan kedhaliman. Dan lagi, bila syariat Allah telah menetapkan satu ketetapan hukum ataupun penilaian, pastilah ketentuan dan penilaian Allah itu yang paling adil dan paling benar. Allah Ta'ala menegaskan:

“Dan tegakkanlah hukum di kalangan mereka dengan hukum yang Allah turunkan (yakni hukum Al-Qur'an dan As-Sunnah) dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dan hati-hatilah engkau dari tipu daya mereka yang ingin menyimpangkan engkau dari sebagaian ketentuan hukum yang Allah turunkan kepadamu. Maka bila mereka berpaling dari Islam ini, katakanlah sesungguhnya Allah hanya ingin menimpakan kepada mereka akibat dari sebagaian dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan orang itu adalah fasiq.” (Al-Maidah: 49)

Allah Ta'ala menuntunkan kita untuk berbuat adil dan menjadikannya sebagai simbol akhlak kaum Muslimin.

“ Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak dengannya dan apabila kalian menghukumi diantara manusia, maka hukumilah dengan adil. Sesungguhnya Allah yang paling baik menasehati kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (An-Nisa: 58).

Sedangkan simbol keadilan bagi umat Islam itu telah ditegaskan oleh-Nya:

“Dan demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umat yang adil, agar kalian menjadi saksi yang adil atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi bagi kalian.” (Al-Baqarah: 143).

Cinta dan benci telah diperingatkan oleh Allah Ta'ala untuk jangan menjadi penghalang bagi upaya bersikap adil.

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian saksi yang adil karena Allah. Dan janganlah kebencian kamu terhadap satu kaum menyebabkan kamu berbuat tidak adil. Berbuat adillah, karena perbuatan adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kalian sesungguhnya Allah itu Maha Tahu dengan apa yang kalian lakukan.” (Al-Maidah: 8)

Bahkan terhadap orang-orang kafir yang tidak menunjukkan sikap permusuhan kepada kaum muslimin, kita diperintahkan oleh Allah untuk bersikap adil:
(ayat)
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil terhadap orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena alasan agama dan tidak mengusir kalian dari negeri-negeri kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.” (Al-Mumtahanah: 8)

Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi sallam bersabda:

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah di hari kiamat akan ditempatkan di atas panggung yang terbuat dari cahaya di sebelah kanan Allah, dan kedua tangan Allah adalah kanan, yaitu mereka yang berbuat adil dalam hukum meraka dan dalam keluarga mereka dan apa yang dikuasakan padanya.” (HR. Muslim dalam Shahihnya Kitabul Imarah bab. Fadhilatul Amir Al-Adil hadis ke 1827 dari Zuhair).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Maknanya ialah bahwa keutamaan tersebut hanyalah diberikan bagi mereka yang berbuat adil dalam kedudukannya sebagai pemimpin negara, pimpinan atau jabatan pemerintahan, atau sebagai hakim dalam pengadilan, atau sebagai bendahara mengurusi keuangan bagi suatu usaha, atau juga penyaluran shadaqah kepada yang berhak atau pengurus benda wakaf, dan dalam berbagai kewajiban pada hak anak dan istrinya, dan yang serupa itu.” (Syarah Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, hal 528).
Maka adil itu dalam konteks syari'ah Islamiyah ialah bila orang merujuk pada ketentuan syari'ah ini dalam memecahkan berbagai problem, kemudian menerima dengan lapang dada segala ketentuan syari'ah itu walaupun terasa berat di hati untuk menerimanya dan segera tunduk melaksanakan segala keputusan itu dengan sebenar-benar ketundukan.

“Maka demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim pemutus perkara dalam apa yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian meraka tidak mendapati di dalam diri mereka keraguan pada apa yang engkau putuskan dan mereka tunduk kepadanya dengan setunduk-tunduknya.” (An-Nisa': 65).

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata: “Maka Allah Subhanahu wa Ta`ala bersumpah dengan diri-Nya bahwa kita tidak dianggap beriman sehingga kita menetapkan hukum Rasul-Nya dalam segala perkara yang diperselisihkan di antara kita, dan hati kita menerima dengan lapang dada hukum beliau. Sehingga tidak terdapat keraguan atau pengingkaran pada hati kita. Kemudian kita tunduk menunaikan keputusan itu dengan sebenar-benar ketundukan. Maka kita tidak mempertimbangkan lagi kebenaran hukum itu dengan akal atau pikiran, atau hawa nafsu, ataupun dengan yang lainnya. Sungguh Allah Ta'ala telah bersumpah dengan diri-Nya bahwa Dia telah menafikan iman pada orang-orang yang lebih mendahulukan akal dari pada apa yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Dan memang mereka sendiri telah mempersaksikan keingkaran mereka terhadap makna Al-Qur'an itu walaupun mereka menyatakan beriman kepada lafadhnya.” (As-Shawaiqul Mursalah jilid 3 hal. 828)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menerangkan: “Orang-orang bodoh tentang agama ini tidaklah termasuk orang-orang yang adil. Demikian pula ahlul bid'ah tidak termasuk padanya. Oleh karena itu yang dikatakan orang-orang adil adalah Ahlul Sunnah wal Jama'ah, yang mereka ini adalah para Ulama ilmu-ilmu syari'ah. Adapun para ilmuwan dalam disiplin ilmu yang lainnya, kalupun dikatakan sebagai ulama, tetapi itu hanyalah penampilannya saja dan tidak pada hakekatnya.” (Fathul Bari, jilid 13 hal. 316).
Jadi sikap adil itu hanyalah bisa terlaksana dengan bimbingan syari'ah Islamiyah. Adapun orang yang bodoh tentang ilmu syari'ah ini, dia lebih banyak dipengaruhi oleh hawa nafsunya sehingga akan sangat terhalang untuk berbuat adil karenanya. Ibnu Atsir rahimahullah dalam mendefinisikan makna adil, beliau menerangkan: “Adil itu ialah sikap yang tidak condong kepada hawa nafsu yang berakibat kepada kedhaliman dalam hukum.” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits, jilid 3 hal. 190).

Allah Ta'ala memperingatkan kaum Mukminin dari bahaya hawa nafsu yang akan sangat menghalangi orang berbuat adil.

“Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu sehingga kalian berbuat tidak adil.” (An-Nisa': 135).

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam menerangkan tafsir ayat ini menegaskan: “Allah melarang mereka kaum Mukminin untuk mengikuti hawa nafsu yang akan mengakibatkan mereka meninggalkan sikap adil dan benci kepada keadilan atau bahkan lari dari keadilan itu.” (Bada'iut Tafsir, Ibnu Qayyim jilid 2 hal 83-84).
Karena itu, ummat Islam yang paling kuat dalam berpegang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, mereka lebih terbimbing kepada keadilan. Yang demikian ini tidak didapati kecuali pada Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sedangkan mereka yang lemah kemauannya untuk berpegang dengan keduanya, atau bahkan tidak merasa mantap dengan kebenaran Al-Qur'an dan As-Sunnah, akan lebih besar peluangnya untuk dikendalikan oleh hawa nafsunya serta cenderung untuk berbuat dhalim. Yang demikian itu tidak akan didapati kecuali pada Ahlul Bid'ah atau orang-orang yang bodoh tentang agama ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan: “Dan para imam-imam Ahlus Sunnah wal Jama'ah serta para Ulamanya dan kaum mukminin dari kalangan mereka, ciri khasnya ialah al-ilmu (yaitu cinta kepada ilmu agama dengan mempelajarinya dan beramal dengannya), al-adlu (yakni bersikap adil), dan ar-rahmatu (ya'ni bersikap rahmah, kasing sayang kepada manusia). Maka dari itu mereka selalu mengajarkan kebenaran yang diyakini dan diamalkan mereka sesuai dengan bimbingan as-sunnah, mereka selamat dari bid'ah, dan mereka bersikap adil terhadap orang-orang yang menyimpang dari as-sunnah walau pun para penyimpang itu mendhalimi Ahlus Sunnah tersebut. Sikap yang demikian inilah yang diperintahkan oleh Allah: Jadilah kalian saksi-saksi yang adil karena Allah. Dan janganlah kebencian kamu kepada suatu kaum menyebabkan kamu berbuat tidak adil. berbuat adillah karena berbuat adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maidah: 8). Mereka (Ahlus Sunnah) itu selalu mengasihi segenap manusia sehingga yang dimaukannya terhadap umat manusia adalah menebarkan kebaikan dan petunjuk serta menebarkan agama ini. Mereka sama sekali tidak bertujuan kepada kejelekan bagi manusia. Bahkan bila mereka menghukum seseorang dengan menerangkan kesalahan pihak terhukum dan mengatakan kebodohan orang tersebut serta kedhalimannya, maka tujuan mereka dengan perbuatan itu adalah dalam rangka menerangkan kebenaran, dan karena kasihnya kepada sekalian manusia serta dalam rangka menyeru manusia kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran, juga agar agama itu sepenuhnya untuk Allah dan juga agar agama Allah itu dijunjung tinggi kemuliaannya. (Kitabul Istighatsah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah jilid kedua hal. 490).
Demikianlah semestinya akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dinamakan juga salafiyyun. Adapun kenyataan banyak orang yang mengaku bahwa dirinya adalah salafi atau adanya golongan Muslimin yang mengaku sebagai salafiyyin tetapi akhlaknya jauh dari landasan ilmu, rahmah dan adil, maka orang-orang yang demikian ini mudah-mudahan termasuk golongan orang-orang dhalim tetapi masih dalam lingkaran salafiyyin. Allah Ta`ala menegaskan:

“Kemudian Kami wariskan Kitab ini kepada orang-orang yang Kami pilih dari hamba-hamba Kami, maka sebagian dari mereka berbuat dhalim terhadap diri mereka dan seabgian mereka sekedar mengerjakan yang wajib dari agama dan meninggalkan yang haram, dan sebagian dari mereka ada yang melebihi yang lainnya dalam kebaikan dengan ijin Allah. Yang demikian itu adalah keutamaan yang besar.” (Fathir: 32)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: “Allah Ta`ala mengatakan: Kemudian Kami jadikan orang-orang yang menegakkan tuntunan kitab yang agung (yakni Al-Qur'an) membenarkan juga kitab-kitab yang telah datang sebelumnya. Mereka ini adalah orang-orang yang Kami pilih dari hamba-hamba Kami dan mereka ini adalah umat ini (yakni umat Islam dari umat nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam). Kemudian Allah membagi mereka dalam tiga macam, yaitu:
(Pertama,) orang-orang yang mengabaikan sebagian kewajiban dan menjalankan sebagian perbuatan-perbuatan haram.
(kedua), orang-orang yang menunaikan kewajiban agama dan meninggalkan yang haram.
(Ketiga), orang-orang yang menunaikan kewajiban agama maupun yang sunnah-sunnah, meninggalkan perkara yang haram dan makruh sekali pun dan bahkan meninggalkan sebagian perkara mubah (bila dikuatirkan akan menjerumuskan kepada yang haram).” (Tafsir Ibnu Katsir 3 / 554 – 555)

OLEH SEBAB ITU BERSIKAP ADILLAH WAHAI SALAFIYYIN!
Melalui tulisan ini, saya sebagai guru terhadap murid-murid saya, sebagai da'i (juru dakwah) kepada para mad'u (pihak yang didakwahi), atau kepada bekas murid saya yang sekarang sudah merasa lebih pintar dari saya, dan sebagai orang tua kepada anak-anak saya yang mulai menginjak remaja, saya wasiatkan untuk mereka semua dan khususnya untuk diri saya sendiri:

1). Takutlah kepada Allah yang Maha Tahu apa yang tersembunyi di lubuk hati yang paling dalam dan apa yang terucap di lisan. Dia terus menghitung amalan dhahir dan batin kita, untuk diampuni oleh-Nya atau diperhitungkan di hari Mahsyar nanti.

2). Kita di dunia ini bisa saja bersilat lidah dalam segala perkara. Perbuatan dusta dan khianat dianggap enteng karena dilakukan dengan alasan takut sesat dan menyimpang dari jalan Allah. Padahal yang didustai dan dikhianati adalah para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dan para salafiyyin. Mari kita camkan peringatan dan nasehat Allah Ta`ala berikut ini:

“Kalau tidak karena keutamaan Allah atas kalian dan karena rahmat-Nya di dunia dan akhirat, niscaya akan menimpa kalian adzab yang besar akibat berita-berita bohong yang kalian tebarkan dengan lisan-lisan kalian. dan kalian berucap dengan mulut-mulut kalian suatu perkara yang kalian sendiri tidak mengerti. Kalian menyangka bahwa perbuatan yang demikian itu adalah perkara yang enteng, padahal perkara tersebut adalah besar di sisi Allah. Dan seandainya kalian tahu darimana berita yang kalian dengar itu, niscaya kalian akan mengatakan: “Tidak pantas kami berbicara seperti ini, Maha Suci Engkau ya Allah, berita ini sungguh kedustaan yang besar.” Allah menasehati kalian untuk jangan kalian ulangi perbuatan kalian seperti ini selama-lamanya walau kalian memang orang-orang yang beriman.” (An-Nur: 14 – 17)

3). Keikhlasan kita dalam beramal di jalan Allah dan untuk Allah, serta kesungguhan kita untuk mencocoki tuntunan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam dalam beragama, akan diketahui di belakang hari dalam kelanggengan serta istiqamahnya kita di atas sunnah Nabi. Amalan yang ikhlas karena Allah dan di jalan Allah, pasti akan terasa barakahnya di masa kini dan di masa yang akan datang bahkan mungkin di masa anak cucu kita:
(ayat)
“Adapun buih, maka ia akan sirna dengan sia-sia, dan adapun yang bermanfaat bagi manusia, maka itulah yang akan tinggal di muka bumi. Demikianlah Allah memberikan permisalan.” (Ar-Ra'du: 17)

Al-Imam Ath-Thabari dalam Tafsirnya membawakan riwayat penafsiran Ibnu Zaid terhadap ayat ini, beliau mengatakan: “Ini adalah permisalan yang Allah berikan tentang kebenaran dan kebatilan.” Dibawakan pula tafsir dari Atha': “Allah memberikan permisalan tentang kebenaran dan kebatilan, maka Allah memisalkan kebenaran seperti aliran air yang tetap mengalir di bumi. Sedangkan kebatilan, Allah misalkan seperti buih yang tidak bermanfaat bagi manusia.” (Tafsir Ath-Thabari 7 / 372)

Oleh karena itu beramalah masing-masing kita untuk menjunjung tinggi kemuliaan agama Allah, mengajarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Jangan saling mengganggu dengan undangan menghadiri acara baca puisi persatuan atau drama persaudaraan. Masa bersantai-santai sudah lewat, yang ada sekarang adalah bersungguh-sungguh di hadapan Allah Ta`ala dalam mempelajari, mengamalkan, mengajarkan agama kepada sekalian umat manusia dan membela kemuliaannya dari rongrongan para musuh-musuh Allah.

4). Kita akan berjumpa di padang Mahsyar nanti di hadapan mahkamah Allah Ta`ala yang Maha Adil. Siapkanlah masing-masing kita untuk perjumpaan itu, kalau seandainya Allah Ta`ala menaqdirkan bahwa kita tidak sempat lagi berjumpa di alam dunia ini. Semua kedustaan dan kepalsuan yang meliputi kehidupan di dunia ini akan terbongkar dan terbukti kekejiannya. Karena rasanya kalau kita di dunia ini disibukkan untuk mengurusi kepalsuan dan kedustaan itu, sangat dikuatirkan justru akan menghabiskan waktu kita yang tinggal sedikit hari lagi ini. Oleh sebab itu, biarkanlah kedustaan dan kepalsuan itu berhasil ditutup-tutupi terus oleh pelakunya dan serahkan semua itu kepada Allah Ta`ala yang akan membongkarnya dengan cara-Nya sendiri. Adapun masing-masing kita manfaatkanlah waktu yang pendek ini untuk beramal di posisi masing-masing sampai datangnya jemputan malakul maut.

5). Perjuangan di jalan Allah haruslah dilakukan dengan ta`awun (tolong-menolong) menurut tuntunan syariah Islamiyah. Dan untuk itu, masing-masing kita mencari teman yang tidak pernah mengkhianati kita dan tidak pernah mempermainkan kita dengan kedustaannya. Agar perjuangan itu dapat dijalankan dengan aman, tanpa ada kekuatiran untuk ditikam dari belakang. Perjalanan perjuangan masih panjang sedangkan waktu kita amatlah sedikit. Jadi karena itu, bergegaslah mencari teman yang baik untuk melanjutkan sisa perjalanan ini. Selamat melanjutkan perjuangan dakwah salafiyah, lanjutkan derap perjuanganmu. Jangan mundur sesentipun dan jangan berfikir untuk mundur karena musuh agama terus menggempur dan mengganyang. Korban telah berjatuhan dalam bentuk kesesatan banyak orang dalam beragama dan mereka perlu pertolongan segera. Semoga Allah menguatkan hati kita dalam keikhlasan karena-Nya dan dalam mencocoki tuntunan Nabi-Nya. Amin ya mujibas sailin.

DAFTAR PUSTAKA
1). Syarah Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, Darul Khair, Cet. Th. 1994 / 1414 H.
2). Tafsir Ath-Thabari, Al-Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, penerbit Darul Kutub Al-Ilmiah, Beirut – Libanon, th. 1412 H / 1992 M.
3). Mu'jam Mufradatil Alfadhil Qur'an, Al-Imam Ar-Raghib Al-Asfahami.
4). Shahih Muslim, Al-Imam Muslim.
5). As-Shawaiqul Mursalah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah.
6). Fathul Bari, Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani.
7). An-Nihayah fi Gharibil Hadits, Al-Imam Ibnu Atsir.
8). Bada'iut Tafsir, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.
9). Kitabul Istighatsah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.


0 komentar:

Posting Komentar

Ahlan wa Sahlan...jazakallah khoyran...